Thursday, September 17, 2009

Sedikit tentang agnostik, setitik tentang atheis, dan sekilas tentang deisme

Sedikit tentang agnostik, setitik tentang atheis, dan sekilas tentang deisme

by Emanuel Triadmojo Suryokusumo (notes) Wed at 10:48pm @ Facebook

Suatu ketika Einstein, seorang ilmuwan terkemuka, pernah diwawancara oleh seorang wartawan. “Apakah anda percaya kepada Tuhan, Profesor?” Ditanya demikian Einstein pun kembali bertanya kepada sang wartawan. “Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, pertama-tama saya mau bertanya kepada anda, apakah yang dimaksud dengan Tuhan itu.” Cerita menarik yang saya ambil dari sebuah buku karya Andre Comte Sponville yang berjudul Spiritualitas Tanpa Tuhan ini saya jadikan pembukaan dalam artikel saya ini. Artikel ini adalah sebuah usaha untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai makna agnostik, ateis, dan deisme. Bagi saya ketiga hal ini hampir mirip dan di satu sisi bisa dikatakan saling berkaitan. Pemikiran dan makna yang saya tampilkan dalam buku ini tidak murni karya saya, tetapi sebuah usaha penyarian dari buku Spiritualitas Tanpa Tuhan karya Andre Compte Sponville, ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan dari sumber lain. Semoga dapat dinikmati bersama.

&&&&&&&&

Sekedar untuk menyamakan persepsi tentang makna Tuhan, supaya tidak terjadi bias makna dan pengertian dalam keseluruhan artikel ini, maka marilah Tuhan itu kita definisikan sebagai Zat yang kekal abadi, yang gaib dan Maha Sempurna (yang maha melihat dan Mahatinggi di alam semesta), yang Mahakuasa dan atas kehendakNya menciptakan alam semesta ini. Dia diakui Mahasempurna dan Mahapengasih, Mahatau dan Mahakuasa, Mahaadil, Mahapencipta yang bahkan Dia sendiri tidak diciptakan, jika mengutip St. Agustinus (Seorang Teolog Katolik), Dia adalah Pencipta yang tidak diciptakan.

Seringkali orang lebih memilih disebut agnostic dari pada atheis, memang terkesan lebih keren dibaca apalagi jika dipampangkan pada orang awam, “wah istilah baru nih”. Semula saya berfikir dua hal ini adalah hal yang sama padahal sama sekali berbeda. Beberapa etimologi dapat menyesatkan makna agnostik yang sesungguhnya. Misalnya agnostos, dalam bahasa Yunani, artinya tidak diketahui atau tidak bisa diketahui. Hingga orang menyimpulkan agnostik adalah orang yang mengakui ketidaktahuannya tentang persoalan Tuhan atau yang Mahakuasa. Makna ini mengandung konsekuensi logis bahwa jika agnostisisme semakin bisa diaplikasikan berarti agnostisisme semakin tidak bisa dipahami.
Sesungguhnya kaum agnostik itu tidak membenarkan maupun menyangkal keberadaan Tuhan. Lebih jauh. Mereka menolak menetapkan pendirian dalam persoalan ini atau mengklaim diri tidak mampu melakukannya (81, Sponville, 2007).
Kaum agnostik, tidak puas hanya mengakui ketidaktahuan mereka mengenai yang Mahakuasa (sebab banyak kalangan dari agamis dan ateis juga mengakui hal yang sama) berhenti di sana, dan menolak untuk melangkah lebih jauh. Mereka memilih untuk tidak menentukan pendirian dalam persoalan yang tidak mereka ketahui. Pada akhirnya kaum agnostik mempertahankan semacam netralitas, skeptisisme atau ketidakacuhan berkenaan dengan persoalan-persoalan keagamaan

Jauh berbeda dengan atheis. Berasal dari kata Yunani a-theos, yang berarti tanpa Tuhan. Para penganut atheis sama sekali tidak mengakui keberadaan Tuhan, tak sekedar jatuh pada netralitas yang dianut para penganut agnostisisme. Banyak sekali filsuf yang mengeluarkan berbagai pemikiran yang mendasari dirinya untuk menyebut dirinya sendiri sebagai atheis. Mereka itu diantaranya adalah JP Sartre, Feuerbach, Sigmund Freud, Karl Marx, Ernst Bloch (tema skripsi saya menggunakan bahan utama dari buku “Atheism in Christianity” karyanya), dan banyak filsuf lain. Mereka sama sekali menolak mengakui bahwa Tuhan itu eksis. Semoga saja kita bisa membahas berbagai macam pemikiran ateisme pada suatu kesempatan…

Sedangkan deisme adalah sebuah paham yang mengatakan bahwa Allah (atau Tuhan) adalah layaknya pembuat jam. Mengapa pembuat jam? Sebab seperti seorang pembuat jam itu membuat sebuah jam lengkap dengan systemnya. Setelah menciptakan sebuah jam, seorang pembuat jam tidak perlu lagi mengotrol jalannya jam, sebab jam akan berjalan sesuai dengan system yang telah berlaku dalam jam.
Demikian dengan Tuhan. Ia menciptakan dunia lengkap dengan sistemnya. Setelah dunia diciptakan Sang Pencipta itu kemudian lepas tangan, tidak ikut campurtangan lagi pada ciptaannya, semua ciptaan berjalan sesuai dengan mekanisme alamiahnya. Mungkin bisa dikatakan setelah dunia (dan segala isinya) diciptakan berlaku hukum sebab akibat. Misalnya gempa bumi terjadi karena lempeng bumi bergeser, lempeng bumi bergeser karena ingin mengisi ruang kosong yang ada di sela-sela lempeng bumi, lempeng bumi itu mencari posisi paling stabil. Posisi tak stabil lempeng bumi terjadi karena ada banyak ruang kosong, ruang kosong muncul karena materi yang mengisi ruang kosong itu hilang, ternyata materi yang mengisi ruang kosong itu adalah minyak bumi yang banyak ditambang manusia, manusia menambang karena barang tambang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan, kehidupan manusia perlu didukung karena manusia punya sifat ingin bertahan hidup, bertahan hidup itu membutuhkan tenaga, tdan seterusnya. Semua berjalan sesuai dengan sistemnya.
Deisme ini dituduh sebagai biang kerok, cikal bakal lahirnya atheisme di kemudian hari. Sering disebut dalam berbagai tulisan, untuk mencapai atheisme kita butuh selangkah lagi dari deisme. Deisme ini mengesampingkan peran Tuhan dari hidup manusia, Tuhan hanya berperan dalam penciptaan, sebab setelah itu ciptaan sendiri yang menentukan hidupnya. Intinya peran Tuhan dilupakan segera setelah Ia menciptakan ciptaan. Jadi jika kita urut-urutkan atheisme itu lahir setelah deisme terlebih dahulu eksis di jamannya. Deisme ini lahir pada sekitar abad ke 17 dan ke 18.

Emanuel Triadmojo Suryokusumo
(Mahasiswa STF Driyarkara - Smst 7)

3 comments:

  1. mbak, saya mahasiswi filsafat ugm. saya mau bikin skripsi tentang spritualitas ateis. Nah, salah satu buku primernya adalah 'spritualitas tanpa tuhan' karya Sponville.

    Saya minta tolong dikasih tahu referensi buku lain yg mbak tahu dong. yang berhubungan dengan tema saya tadi.

    atau gak, saya minta email penulis artikel ini mbak. please banget..

    kalau bisa balesan komen ini dikirim ke email saya (dislikeurstyle@yahoo.com) ya mbak..

    trima kasih sebelumnya.

    ReplyDelete
  2. saya agnostik...
    memilih menjadi agnostik sekitar 6 tahun yang lalu..
    mengapa menjadi agnostik?
    karena tidak ada kitab keagamaan manapun yang bisa di pertanggung jawabkan kebenarannya (ini alasan saya),
    salam

    ReplyDelete